Senin, 26 Desember 2011


written by Firman Raditya

     Presiden pertama Indonesia Soekarno pernah mengatakan bahwa hidup mati sebuah Negara bergantung pada pertaniannya. Lalu bagaimana dengan Negara yang pertaniannya banyak diselimuti masalah yang kurang bisa teratasi? Coba kita tengok Negara kita, Negara Indonesia adalah sebuah negara agraris dimana Negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian petani, sebuah negara yang berpijak kepada dunia pertanian dengan berbagai jenis hasil produksinya, sebuah Negara dengan tanah yang subur untuk dibangun pertanian. Namun, ironisnya potensi yang kita miliki tidak sebanding dengan keadaan sesungguhnya, sejauh itu pula, sosok petani dan eksistensi tanahnya sebagai bagian yang terpisahkan dalam konteks negara agraria, selalu menelan pil pahit. Di negeri ini, petani seperti dilahirkan dengan menanggung nasib malang dan selalu dirugikan dengan kebijakan yang tidak kontekstual dengan kondisi riil rakyat. Anehnya, keganjilan-keganjilan semacam itu terus berkembang dan merambat kepada semua komponen kebangsaan dan kenegaraan kita.

     Sepanjang sejarah bangsa mulai dari masa kolonial belanda hingga saat ini petani selalu dikisahkan dengan cerita yang menyedihkan. Dimulai pada masa kolonial hindia belanda sebelum berlakunya UUPA (Undang- Undang Pokok Agraria) selain pendaftaran tanah-tanah Hak Barat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dijumpai juga kegiatan pendaftaran tanah dengan tujuan lain dengan kegiatan yang sama dan yang menyelenggarakannya adalah pemerintah, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan bagi kepentingan Negara sendiri, yaitu untuk keperluan pemungutan pajak tanah. Maka kegiatan itu pun disebut "kadaster fiscal" atau "fiscal cadastre" Sampai tahun 1961 ada tiga macam pemungutan pajak tanah yaitu :

  1. Untuk tanah-tanah Hak Barat : Verponding Eropa
  2. Untuk tanah-tanah hak milik adat yang ada di wilayah Gemeente : Verponding Indonesia dan;
  3. Untuk tanah-tanah hak milik adat luar wilayah Gemeente: Landrente atau Pajak Bumi.

Dasar penentuan obyek pajaknya adalah status tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah hak milik adat. Sedang wajib pajak adalah pemegang hak/pemiliknya. Biarpun yang menguasai tanah memintanya, kalau tanah yang bersangkutan bukan tanah Hak Barat atau tanah hak milik adat, tidak akan dikenakan pajak.

     Maka lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960 saat dimasa orde baru merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). UUPA merupakan hukum saat di Orde Baru menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

     Sementara itu pada awal Orde Baru UUPA 1960 dipandang sebagai produk hukum kaum komunis . Selain mengesampingkan UUPA, Soeharto juga merubah segenap UU dan Peraturan Land Reform lainnya. Penguasaan dan pengambilalihan tanah oleh pemerintah demi kepentingan paradigma pembangunan atau kepentingan apa pun,  merupakan suatu yang merugikan dalam kebijakan agraris. Orentasi kebijakkan pertanahan bersifat kapitalistik juga. Pengambilan tanah rakyat untuk pembangun industri tanpa penataan struktur.
Suharto mundur, lalu berbagai bentuk gerakan sosial petani dalam upaya menuntut hak-hak atas tanah mereka muncul. Reklaiming atas tanah mereka, meski untuk itu mereka harus berhadapan dengan kekuasaan negara yang represif. Hal ini, menunjukkan perlawanan petani. Akibat dari struktur sosial yang menimbulkan konsekuensi ketimpangan distribusi kekuasaan. Lalu di saat era reformasi petani tidak lagi menjadi  objek pertanian, tetapi menjadi subjek pertanian. Dengan program pemerintah yang menggalangkan kemandirian petani menuntut petani agar lebih mengedepankan usaha kemandiriannya. Serta arah pertanian nasional yang diarahkan pada sisten agribisnis, merupakan integrasi dari banyak sektor yang saling ketergantungan satu sama lain dimana petani kembali dituntut untuk mandiri. Tetapi tidak seperti yang diidamkan – idamkan oleh pemerintah, dimana petani di Indonesia sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga masih banyak petani yang menjadi objek radikalisasi pertanian. Petani pun masih sulit lepas dari cengkaraman para tengkulak, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan informasi bagi petani serta sikap malas yang melekat pada petani kecil sehingga menjadi ketergantungan untuk menjual hasil pertaniannya kepada tengkulak.

     Cermin di atas merupakan realitas pahit petani dan tanah mereka yang banyak dilecehkan dan dipermainkan oleh pihak negara. Begitu banyak kasus serupa di belahan daerah negeri ini yang selalu mendeskriminasikan posisi petani. Birokrasi otoritarian semacam inilah yang ikut andil memasukkan tanah-tanah rakyat dan kekayaan publik lainnya secara paksa ke dalam sirkuit produksi yang dimiliki perusahaan-perusahaan raksasa nasional maupun transnasional, dan pada gilirannya memberi jalan bagi akumulasi kekayaan elite oligarki yang mendominasi ekonomi dan politik Indonesia. Bahkan hingga sekarang, setelah sangat lama melewati dari masa kolonial, Orba, hingga kini.

     Sebaiknya setiap individu ataupun kelompok yang memegang peran pertanian harus bisa saling terintegrasi, saling jujur, saling mendukung dan saling memberikan informasi yang benar. Manajemen rantai pasok merupakan salah satu solusi untuk membantu petani keluar dari keterpurukan dan kemalangan. Manajemen rantai pasok haruslah dijalankan secara konsisten dengan mengikat komitmen dari setiap bagian dalam pertanian sehingga diharapkan setiap bagian itu saling mendukung untuk terwujudnya pertanian yang terintegrasi dan juga mensejahterakan petani. Selain itu peran pemerintah dalam mengontrol dan mendukung manajemen rantai pasok juga diperlukan dengan memperbaharui sistem Gapoktan yang selama ini menjadi mitra petani tetapi tidak bisa memecahkan solusi atau dengan membuat wadah baru. Wadah baru tersebut haruslah bisa merangkul semua rantai pasok atau setiap bagian peran pertanian. Selama ini wadah yang ada seperti gapoktan hanya merangkul petani kecil tetapi tidak merangkul rantai pasok berikutnya seperti para pengumpul. Para pengumpul dan pasar juga harus dirangkul agar dapat diintegrasikan jalur komoditi petani secara keseluruhan.

     Selain itu juga diperlukan edukasi dan pemahaman agar para petani mengerti bagaimana cara memanfaatkan informasi dan potensi yang ada di sekitarnya. Keadaaan saat ini tingkat pendidikan petani sangatlah rendah, hal ini juga yang menjadi faktor pendukung bahwa petani di Indonesia mudah sekali untuk ditindas. Dengan sistem pertanian yang menggunakan manajemen rantai pasok dan juga didukung oleh edukasi yang memadai, diharapkan bisa menjadi alternatif solusi hal ini pun perlu disosialisasikan dan diberikan edukasi agar penggunaannya menjadi maksimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

We Love Palestine

We Love Palestine